Senin, 06 Maret 2017
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE
PENDAHULUAN
Alih
kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakain bahasa karena berubah situasi”.
Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875:103) mengatakan alih kode
itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat terjadi antara ragam-ragam
atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi di atas antara
ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia.
Di dalam campur kode ada sebuah kode utama ata kode dasr yang
digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya,sedangkan kode-kode lain yang
terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja,
tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.
Masalahnya,
bagaimana Alih kode? bagaimana campur kode? Makalah ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana alih kode dan bagaimana campur kode. Manfaat makalah ini
adalah agar pembaca memahami alih kode dan campur kode.
PEMBAHASAN
7.1 Alih Kode
Untuk
apat memahami pengertian alih kode dengan lebih baik simaklahterlebih dahulu
ilustrasi dalam paparan berikut!
Nanang
dan ujang, keduanya berasal dari Priangan, lima belas menit sebelum kuliah
dimulai sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang
topiknya tak menentu dengan menggunakan bahasa sunda, bahasa ibu keduanya.
Sekali-sekali bercampur dengan bahasa Indonesia kalau topik pembicaraan
menyangkut masalah pelajaran. Ktika mereka sedang asyik becakap-cakap masuklah
togar, teman kuliahnya yang berasal dari tapanuli, yang tentu saja tidak dapat
berbahasa sunda. Togar meyapa mereka dalam bahasa Indonesia. Lalu, segera
mereka terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak lama
kemudian masuk pula teman-teman lainnya, sehingga suasana menjadi riuh, dengan
percakapan yang tidak tentu arah dan topiknya dengan menggunakan bahasa
Indonesia ragam santai. Ketika ibu dosen masuk ruangan, mereka diam, tenang,
dan siap mengikuti perkuliahan. Selanjutnya kuliah pun berlangsung dengan tertib
dalam bahasa Indonesia ragam resmi. Ibu dosen menjelaskan materi kuliah dalam
bahasa Indonesia ragam resmi, mahasiswa bertanya dalam ragam resmi, dan seluruh
percakapan berlangsung dalam resmi hingga kuliah berakhir. Begitu kuliah
selesai, dan ibu dosen meninggalkan ruang kuliah, para mahasiswa itu menjadi
ramai kembali, dengan berbagai ragam santai, ada pula yang bercakap-cakap dalam
bahasa daerah.
Dari
ilustrasi itu dapat dilihat, pada mulanya nanang dan ujang, yang berbahasa ibu
sama, bercakap-cakap dalam bahasa sunda, kecuali sesekali kalau topik
pembicaraannya mengenai bahan pelajaran, mereka menggunakan bahasa Indonesia.
Sewaktutogar, yang berasal dari tapanuli itu, masuk, maka nanang dan ujang
mengubah bahasa mereka dari bahasa sunda ke bashasa Indonesia, meskipun hanya
bahasa ragam santai. Demikian juga bahasa yang digunakan bahasa yang digunakan
oleh teman-teman mereka yang datang kemudian. Tetapi begitu ibu dosen masuk dan
kuliah mulai berlangsung, maka percakapan hanya dilakukan dalam bahasa Indonesia
ragam formal. Penggunaan ragam formal ini baru berhenti bersamaan dengan
berakhirnya jam perkuliahan. Tepatnya, begitu ibu dosen meninggalkan ruang
kuliah.
Peristiwa
pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa sunda ke
bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau
juga ragam resmi ke ragam santai, inilah yang disebut peristiwa alih kode di dalam sosiolinguistik.
Memang tentang apakah yang disebut alih kode itu banyak batasan dan pendapat
dari pakar. Namun, ilustrasi dan keteranan diatas telah member gambaran apa
yang disebut dengan alih kode.
Appel
(1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakain
bahasa karena berubah situasi”. Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode
itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875:103)
mengatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat terjadi
antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam
ilustrasi di atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia.
Lengkapnya Hymes mengatakan “code switching has become a common term for
alternate us of two or more language, varieties of language, or even speech
styles”.
Kalau
kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan
kepada pokok persoalan sosiolingustik seperti yang dikemukakan Firhman
(1976:15), yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan
dengan tujuan apa”. Dalam berbagai kepustakaan linguistic secara umum penyebab
alih kode disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2)
pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga,
(4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topic
pembicaraan.
Lawan
bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena
si penutur ingin mengimbagi kemampuan berbahasa si lawan tutur itu. Dalam hal
ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak kurang karena
memang mungkin bukan bahasa pertamanya. Kalau si lawan tutur itu berlatar
belakang bahasa yang sama dengan penutur, maka alih kode yang terjadi hanya
beupa peralihan varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau
register. Kalau si lawan tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si
penutur, maka yang terjadi adalah alih bahasa.
Kehadiran
orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama
dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat
menyebabkan terjadinya alih kode. Pada ilustrasi di atas, maka sewaktu nanang
dan ujang bercakap-cakap dalam bahasa sunda, masuklah togar yang tidak
menguasai bahasa sunda. Maka, nanang dan ujag segera beralih kode dari bahasa
sunda ke bahasa Indonesia. Sebagai contoh lai, simaklah ilustrasi alih kode berikut
dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia (diangkat dari Widjajakusumah 1981).
Latar
belakang : kompleks perumahan guru di
bandung
Pembicara : ibu-ibu rumah tanggga. Ibu S dan
ibu H orang sunda, dan ibu N orang
minang yang tidak bias berbahasa sunda.
Topik : air ledeng tidak keluar
Sebab
alih kode : kehadiran ibu N dalam
peristiwa
Peristiwa
tutur :
Ibu S : bu H, kumaha cai tadi
wengi? Di abdi mah tabuh sapuluh embe
ngocor, kitu ge alit (bu H, bagaimana air ledeng tadi malam? Dirumah saya sih
pukul sepuluh baru keluar, itu pun kecil)
Ibu H : sami atuh. Kumaha ibu N yeuh, ‘kan
biasanya baik (samalah. Bagaimana bu N ni, kan biasanya baik).
Terlihat
di situ, begitubpembicaraan ditujukan kepada ibu N alih kode pun langsung
dilakukan dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia. Status orang ketiga dalam alih
kode jga menentukan bahasa atau varian yang harus digunakan. Pada contoh di
atas ibu N adalah orang minang yang tidak menguasai bahasa sunda, maka pilihn
satu-satunya untuk beralih kode adalah bahasa Indonesia, karena bahasa
Indonesia itulah yang dipahami oleh mereka bertiga.
Menurut
Widjajakusumah terjadinya alih kode dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia adalah
kerena:
(1)
Kehadiran orang
ketiga
(2)
Perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis
(3)
Beralihnya
suasana bicara
(4)
Ingin dianggap
“terpelajar”
(5)
Ingin menjauhkan
jarak
(6)
Menghindarkan
adanya bentuk kasar dan halus dalam bahas sunda
(7)
Menutip
pembicaraan orang lain
(8)
Terpengaruh
lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia
(9)
Mitra
berbicaranya lebih mudah
Sedangkan penyebab alih kode dari bahaa Indonesia ke
bahasa sunda adalah karena:
1.
Perginya orang
ketiga
2.
Topiknya beralih
dari hal teknis ke hal nonteknis
3.
Suasana beralih
dari resmi ke tidak resmi; dari situasi kesundaan ke keindonesiaan
4.
Merasa ganjil
untuk tidak berbahasa sunda dengan orang sekampung;
5.
Ingin
mendekatkan jarak
Tampaknya penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa sunda
merupakan kebalikan dari penyebab alih kode dari bahasa sunda ke bahasa
Indonesia. Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode
intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode
yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa
jawa, atau sebaliknya, seperti percakapan antara sekretaris dan majikannya
dalam ilustrasi. Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri
(salah satu bahasa atau ragam yang ada daam verbal repertoir masyarakat.
7.2 Campur Kode
Pembicaraan
mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode.
Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang bilingual ini
mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan.
Kesamaan
yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua
varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat
beda keduanya. Namun yang jelas, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam
bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing,
dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan diatas.
Sedangkan didalam campur kode ada sebuah kode utama ata kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan
keotonomiannya,sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu
hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai
sebuah kode.
SIMPULAN
Alih kode adalah gejala peralihan pemakain bahasa karena berubah
situasi. Soewito
membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode
ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar
bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa jawa, atau sebaliknya,
seperti percakapan antara sekretaris dan majikannya dalam ilustrasi. Sedangkan
alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam
yang ada daam verbal repertoir masyarakat.
Di dalam campur kode ada sebuah kode utama ata kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan
keotonomiannya,sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu
hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai
sebuah kode.
SARAN
kalau
dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih
memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja
dengan sebab-sebab
tertentu. Sedangkan didalam campur kode ada sebuah kode utama ata kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan
keotonomiannya,sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu
hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai
sebuah kode.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie.
2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Gejala Dan Problematika Dalam Penyusunan Kalimat
1.1
Problematika
Penyusunan Kalimat
Berdasarkan
dari latarbelakang, ada beberapa hal yang menyebabkan problematika penyusunan
kalimat. Hal tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Interferensi
Intrabahasa
Dalam
kamus Linguitik, Kridalaksana mencatat bahwa inteferensi ialah penggunaan unsur
bahasa lain seorang multibahasawan secara individual. Interferensi bisa juga
berupa penggunaan unsure bahasa sendiri terhadap bahasa atau dialek lain yang
sedang dipelajari. Dengan begitu, interferensi itu terjadi antara dua bahasa
atau antara bahasa dengan dialeknya. Inteferensi intrabahasa adalah penggunaan
unsur atau sisitem lain terhadap unsure atau sistem yang lain dalam satu
bahasa.
Inetrferensi
intrabahasa atau kontaminasi bentukan kata, bentukan frasa dan bentukan kalimat
dapat digambarkan atau diskematkan seperti dibawah ini.
1. ( 1a ) berubah
( 1c )merubah
( 1b ) mengubah
2.
Gejala
Pengaruh Kalimat Transitif
Secara umum kalimat
transitif bisa diubah menjadi kalimat pasif, seperti contoh berikut :
(1a) Kemarin Anda mengemukakan hal itu.
(1b) Kemarin hal itu
Anda kemukakan.
(2a) Matahari menyinari
bumi terus-menerus.
(2b) Bumi disinari
matahari terus-menerus.
Proses
alih bentuk kalimat transitif menjadi kalimat pasif seperti contoh di atas
sangat berpengaruh terhadap kalimat intrasitif yang berpelengkap kata kerja
transitif untuk dialih bentuk menjadi “kalimat pasif”. Akibatnya kalimat pasif
yang dihasilkan berbeda sekali isinya dengan kalimat asal, bahkan ada yang
bernalar salah.
3.
Gejala
Penyederhanaan ( simplikasi )
a. Penyederhanaan
bentuk kata
Cukup lazim terjadinya
penyederhanaan bentukan kata, sebagai contoh :
-
Sudah adaptasi
-
Harus tetap semangat
-
Tidak fokus
Bentuk
adaptasi, semangat, fokus seperti yang tertera dalam KBBI, bukan kata kerja dan
bukan kata keadaan, melainkan kata benda. Karena itu pasangan frasa antara
unsur atribut dan unsur intinya tidak koheren alias tidak terpadu. Pasangan
frasa akan terpadu jika kata-kata benda yang dijadikan unsur inti frasa diubah
menjadi kata kerja atau kata keadaan, seperti :
-
Sudah beradaptasi
-
Harus tetap bersemangat
-
Tidak terfokus
Sebalinya
leksem-leksem tersebut bisa juga digunakan tanpa berimbuhan. Artinya
leksem-leksem itu digunakan sebagai kata benda. Bentukan frasa atau klausa di
antaranya adalah sebagai berikut :
-
Belum terjadi adaptasi di tempat ini.
-
Tanpa semangat melakukan apa pun tidak
akan beres.
-
Tanpa fokus pembicaraan.
b.
Penyederhanaan Preposisi
Problematika
penyederhanaan preposisi terjadi pada penggunaan preposisi yang idiomatik,
yakni preposisi berikut
(1)
Terdiri
dari
atau terdiri atas
Dalam penggunaannya
kadang-kadang preposisi dari dan atas itu dibuang. Seperti contoh
berikut:
(1a) Perguruan tinggi itu terdiri enam fakultas.
(1b) Negeri ini terdiri tiga puluh tiga provinsi.
(2)
Sesuai
dengan
Dalam penggunaannya,
preposisi dengan seringkali dihilangkan, seperti contoh berikut.
(2a) Tindakan itu sudah sesuai ketentuan yang
berlaku.
(2b) Sesuai peraturan pemerintah, THR itu sama
besar dengan gaji perbula
(3)
Sehubungan
dengan
Dalam
penggunaannya, preposisi dengan sering dihilangkan, seperti kalimat berikut:
(3a)
Sehubungan akan dilangsungkannya upacara
tersebut maka dengan ini kami umumkan hal-hal sebagai berikut.
c.
Pelesapan Kongjungsi
Dalam surat-surat dinas
atau surat pengumuman, ada kecendrungan kongjungsi yang menandai makna hubungan
tertentu. Misalnya
(1)
Merujuk
ketentuan pedoman akademik kita, nilai 3,51 itu tergolong yudisium cum laude.
(1a) Dengan Merujuk ketentuan
pedoman akademik kita, nilai 3,51 itu tergolong yudisium cum laude.
4.
Predikat
Bentuk Pasif Persona
Problematika ini
terjadi dalam frasa susunan kata bagian predikat pasif, seperti contoh berikut
:
(1a) Ihwal rendahnya
uang kuliah kita harus bicarakan
dalam rapat lengkap.
(2a) Rencana berapa
besarnya uang kuliah tahun depan, kami
belum sempat ajukan.
Bagian
predikat kalimat pasif di atas ingkar dari ketentuan bahwa antara kata ganti
diri dengan pokok kata di bagian predikat tidak bisa disisipkan jenis kata apa
pun. Bentuk pasif di atas ada penyisipan kata-kata keterangan : sudah, akan,
belum, sempat. Karena itu bagian predikat kalimat-kalimat di atas terasa
janggal waktu kita ucapkan. Sebaliknya susunan frasa tersebut adalah sebagai
berikut :
(1b) ….. harus kita bicarakan dalam rapat lengkap
(2b) …… belum sempat kami ajukan.
5.
Gejala
Subjek Preposisional
Perhatikan contoh
berikut :
(1) Tentang
akan dibukanya program baru / belum dibicarakan ( S+P)
(2) Mengenai
hal itu / belum kami ketahui ( S+P)
Ada
kalimat yang lazim di ucapkan baik dalam situasi formal yang subjeknya
berpreposisi tentang atau menegnai. Struktur subjek yang berupa frasa
preposisional ini tidak bisa di anggap salah begitu saja. Banyak yang beranggap
dengan membuang preposisinya maka selesailah masalahnya. Namun menurut rasa
bahasa berpreposisi mengenai dan tentang memiliki perbedaan makna antara subjek
yang berpreposisi dengan yang tidak berpreposisi.
6.
Frasa
“saling pengertiang” dan “saling ketergantungan”
Frasa
yang penggunaannya sudah sangat akrab dengan para pengguna bahasa ini merupakan
konstruksi yang aneh atau sangat tidak lazim. Karena itu, pada saat kita
mengucapkan terasa ada kejanggalan tertentu. Kejanggalan tersebut wajar terjadi
karena pemaksaan perilaku bahasa yang tidak lazim dan tidak gramatikal. Peilaku
kata keterangan saling tidak lazim
diiukuti kata benda. Lazimnya ia diikuti kata kerja seperti frasa saling mengerti, saling menolong, dll. Perhatikan
contoh !
(1a) Karena adanya saling pengertian di kedua pihak,
sangketa perbatasan ini dapat diselesaikan dengan baik.
Frasa di atas
tampaknya terjemahan dari kata-kata bahasa Inggris mutual understanding dan
interdependence yang dibantu dengan rasa penerjemahan pertama sebelum
berkembang di masyarakat. Ada baiknya susunan nya seperti berikut:
(1b) Karena adanya pengertian yang
baik di kedua pihak, sangketa perbatasan itu dapat diselesaikan dengan baik.
7.
Subjek
Elipsis
Subjek
ellipsis atau sebjek yang dilesapkan merupakan gejala yang lazim dalam
penggunaan bahasa. Dalam struktur kalimat majemuk dan kalimat kompleks, gejala
subjek ellipsis, ini merupakan salah satu indikasi kalimat efektif. Sebaliknya,
jika pelesapan subjek itu tidak betul, malahan terejadi ketidakberesan kalimat.
Perhatikan contoh.
(1)
Karena
pembibitan tanaman ini memerlukan air yang banyak dilakukan pada musim
penghujan.
Kalimat
di atas merupakan kalimat kompleks, yang berkonstruksi K+P+K. Jadi, kalimat
kompleks tersebut tidak mengandung subjek yang eksplisit. Kelemahan semacam
inilah yang sering terjadi dalam penggunaan kalimat kompleks bahasa Indonesia.
Persisinya, subjek kalimat diposisikan di dalam klausa bawahan (anak kalimat)
bukan di klausa inti ( induk kalimat).
(1a) Karena
memerlukan air yang banyak, pembibitan tanaman ini dilakukan pada musim
penghujan.
Pada contoh (1a)
terdapat proses ellipsis terhadap unsure subjek kalimat dengan teratur.
Sehingga konstruksi kalimat menjadi betul, dan malahan berkesan efektif.
Kalimat (1a) berkonstruksi S+P+K
8.
Penggunaan
Predikat yakni dan yaitu
Perhatikan contoh
berikut !
(1) Yang
akan bertindak sebagai penceramah dalam kesempatan ini yaitu Bapak Prayoga.
(2) Tamu rombongan yang baru datang itu yakni tamu kita.
kata
yakni dan yaitu dijadikan predikat dalam kalimat di atas. Ada juga beranggapan
kedua kata tersebut sama dengan ialah dan adalah yang merupakan kopula atau
kata kerja gabung. Leksem yaitu dan yakni bukan kopula. Jadi kedua-duanya tidak
bisa difungsikan sebagai predikat kalimat. Berdasarkan KBBI yakni dan yaitu
tergolong partikel penghubung yang digunakan untuk merinci keterangan kalimat
seperti dalam kalimat berikut.
(1a) Yang tidak datang, yakni Turi dan Tuin,
tidak mengirimkan berita.
9.
Pengunaan
Bentukan Kata Kerja me-i dan me-kan
Setiap pengguna
bahasa Indonesia yang tertib akan merasa geregetan, mengapa sulit sekali membedakan me-i dan
me-kan seperti bentukan kata mengajari-mengajarkan, mempercayai-mempercayakan
dll. Contoh penggunaan yang tidak tertib dalam bentuk aktif dan bentuk pasif.
(1) Guru-guru
tidak mengajarkan anak-anak kami budi pekerti secara khusus (aktif)
(2) Anak-anak
kami tidak diajarkan budi pekerti secara khusus oleh guru-guru (pasif)
Salah satu prinsip penggunaan dua
bentukan yang secara maknawiah itu bertentangan adalah bahwa predikat bentukan me-i menghasilkan subjek kalimat
itu”bergerak” (subjek bergerak), dan objek “diam”, sedangkan bentukan me-kan menghasilkan subjek kalimat itu
“diam” (subjek diam) dan objek “bergerak”.
(1a) Kita harus menjauhi
perselisihan dengan siapapun.
(2a) penduduk menyeberangi sungai
yang lebarnya puluhan meter itu.
10.
Penggunaan Bentukan mewarisi dan mewariskan
Apakah
mewarisi dan mewariskan sama dengan mewariskan?
Dalam KBBI tahub 2000, bentukan pewaris bermakna ‘ yang memberikan
warisan’, warisan bermakna “sesuatu yang
diwariskan”, mewariskan bermakna ‘memberikan warisan kepada”, mewarisi bermakna
“memperoleh atau menerima warisan dari”. Dan diwarisi bermakna ‘dijadikan
warisan” . perhatikan contoh.
1.
Generasi Angkatan 45, mewariskan
semangat perjuangan bangsa kepada generasi berikutnya. (‘memberikan warisan’)
2.
Generasi muda sekarang mewarisi semangat
perjuangan bangsa tersebut (‘menjadikan atau memperoleh warisan’)
11.
Preposisi di, pada, dalam dan ke-
Ada
kecendrungan penggunaan preposisi di, pada, dan dalam dipertumpangtindikan atau
seperti tanpa pegangan. Karena itu lahirlah kalimat-kalimat berikut:
(1)
Di saat yang sama, kami mendengar
dentuman itu.
(2)
Pada kursi yang lain duduk seorang
perempuan tua yang sudah berubah.
(3)
Kita akan berangkat pada pukul delepan
pagi dan tiba ke Bali besok pada pukul empat sore.
Secara
intuisi bahasa dapat kita rasakan bahwa penggunaan preposisi bagian kalimt yang
dicetak tebal itu tersa ada kejanggalan . jika bagian tersebut dibenahi
terjadilah kalimat-kalimat dibawah ini.
(1)
Pada saat yang sama, kami mendengar
dentuman itu,
(2)
Di kursi yang lain duduk seorang
perempuan tua yang sudah beruban.
(3)
Kita akan berangkat pada pukul delepan
pagi dan tiba di Bali besok pada pukul empat sore.
12.
Ketidaklogisan Isi Kalimat
Kadang
terjadi ketidaklogisan isi kalimat yang tidak terkontrol oleh pengguna bahasa.
Mungkin juga diucapkannya kalimat yang tidak logis itu sudah menjadi kebiasaan
seseorang atau meniru ucapan orang lain dalam kegiatan yang sejenis. Misalnya:
(1)
Hadirin yang terhormat, dimohon yang
memohon HP atau alat komunikasi lainnya dimatikan sementara.
(2)
Dalam kesempatan yang berbahagia ini,
terlebih dahulu saya sampaikan penghargaan atas kehadiran Bapak-bapak beserta
Ibu-ibu dengan tepat pada waktunya.
Secara logis (akal)
kalimat-kalimat itu selayaknya berbunyi seperti berikut.
(1a) Hadirin yang
terhormat, HP atau alat komunikasi lainnya dimohon untuk mematikan sementara
(2a) Dalam kesempatan
yang membahagiakan ini, terlebih dahulu saya sampaikan penghargaan atas
kehadiran Bapak-bapak beserta Ibu-ibu dengan tepat pada waktunya.
13.
Objek Preposisi
Ada dua buah kata yang
sering menganggu kehadiran objek, yakni kata tentang atau mengenai dan daripada.
Contoh :
(1) Seminar
itu akan mengkaji tentang peranan positif para pedagang kaki lima.
(2) Kami
sedang membahas mengenai penyelenggaraannya.
Kalimat-kalimat
di atas akan sepenuhnya terpadu (kohesif) jika kata-kata di depan objek, yakni
daripada, tentang dan mengenai ditinggalkan.
14.
Keparelelan atau Kesejajaran
Untuk
melahirkan kalimat yang bagus, cermat, serasi dan bersentuhan dengan emosi
penutur, pendengar dan pembaca kesejalanan struktur harus dijaga dan
dikembangkan. Ada dua tipe keparelelan dalam kalimat yang harus diperhatikan,
yakni keparelelan struktur kata dan keparelelan struktur kalimat. Perhatikan
contoh ketidaksejalanan bentuk atau jenis kata.
(1)
Semakin dewasa setiap orang diharapkan
semakin jujur, disiplin, mawas diri, dan tanggung jawab.
(2)
Kecuali kalau ada dusta di antara kita,
ada kebohongan, tidak jujur, atau berkhianata, maka konflik yang lebih parah
bisa terjadi.
Dalam
kalimat (1) kata disiplin dan kata majemuk tanggung jawab tergolong kata benda.
Karena kedua kata tersebut harus di ubah menjadi berdisiplin dan bertanggung
jawab supaya sejalan dengan kata jujur dan mawas diri sebagai kaat sifat.
Kalimat (2) slam bentuk yang selayaknya tersusun dalam bentuk yang sejalan
seperti (2a) berikut ini.
(2a)
Kecuali kalau ada dusta di antara kita, ada berbohongan, ketidakjujuran atau
khianat, maka konflik yang lebih parah bisa terjadi.
Perhatikan contok
berikut ketidaksejalanan struktur kalimat :
(1) Karena
tidak bertemu dengan unsur pimpinan, hadiah itu dititipkan kepada salah seorang
karyawan
Kalimat
di atas yang tidak bertemu dengan unsure pimpinan itu adalah hadiah itu. Jadi
ketidaksejalanan bentuk kalimat bisa menjadikan isi kalimat tidak sesuai dengan
logika. Bila struktur kalimat itu disejalankan maka terjadilah kalimat kalimat
berikut ini.
(1)
Karena tidak bertemu dengan unsure
pimpinan maka petugas meitipkan hadiah itu kepaad salah seorang karyawan.
15.
Kecermatan
Kadang-kadang
kita menulis atau mengucapkan kalimat yang ditandai dengan adanya gejala
ketidakcermatan. Contoh :
(1)
Pada kami ada uang dua puluh lima ribuan
(2)
Walaupun, mereka sudah berulang-ulang
dipulangkan ke kampungnya masing-masing, tetapi mereka tidak merasa jera untuk
kembali ke kota dan menjadi pengemis jalanan lagi.
Kalimat-kalimat
di atas akan menunukkan adanya kecermatan berbahasa kalau bentuknya atau
penulisannya diperbaiki menjadi seperti berikut :
(1a) Pada kami ada uang
dua puluh-lima ribuan (20x5000)
(2b)
Walaupun sudah berulang0ulang dipulangkan ke kampungnya masing-masing, mereka
tidak merasa jera untuk kembali ke kota dan menjadi pengemis jalanan lagi.
(2c)
Mereka sudah berulang-ulang dipulangkan ke kampungnya masing-masing, tetapi
mereka tidak merasa jera untuk kembali ke kota dan menjadi pengemis jalanan
lagi.
16. Konjungsi bahwa dan kalau
Dalam
pengggunaan bahasa akhir-akhir ini, konjungsi bahwa cenderung diganti dengan kongjungsi kalau. Padahal makna kedua konjungsi tersebut berbeda sekali.
Perhatikan contoh.
(1)
Apakah para wakil rakyat itu tidak tahu kalau di pedesaan masih banyak rakyat
berada di bawah garis kemiskinan.
(2)
Sebenarnya Pak Menteri memahami kalau peraturan seperti itu sulit untuk
dilaksankan.
Tentu
saja para pemerhati penggunaan bahasa Indonesia geregetan mendengar atau
membaca kalimat seperti itu. Apa sulitnya untuk menggunakan kongjungsi bahwa itu menyatakan hal yang sudah atau
sedang terjadi yang factual. Kongjungsi kalau
adalah kongjungsi yang menyatakan makna syarat, makna yang belum terjadi.
Misalnya :
(1a) Saya akan datang kalau Anda ditempat itu.
Langganan:
Postingan (Atom)